Tips

Seminar Parenting ‘Mendidik Anak di Era Digital’ oleh ibu Elly Risman (3)

Sesi ketiga

Orang tua jaman sekarang, bisa jadi tidak sesusah jaman orang tua mereka dulu dalam membesarkan anak. Kesejahteraan (secara umum ya, kebanyakan) sudah meningkat. Bisa dibilang, hari gini, dari tukang becak, bedinde, petani sampai pemulung, siapa yang tidak punya handphone dan TV di rumahnya? Pekerja bangunan aja motornya bagus2 (logikanya kan, kalau bisa beli itu semua mestinya makan juga sudah kenyang kan ya? Anak2nya juga pada sekolah kan ya?). Para ibu juga dan anak2nya sudah pada pintar2, sekolahnya tinggi2.

Tapi justru, tantangan bagi orang tua jaman sekarang dalam mendidik anak agar punya akhlak dan moral yang baik, jauh lebih besar seiring dengan berkembangnya teknologi.

Sesi ini nih yang paling penting. Mari dilanjuut…

Bagaimana upaya pencegahan yang bisa kita lakukan untuk melindungi anak kita dari bahaya pornografi? Apa yang harus kita lakukan untuk meminimalisir kemungkinan anak bersentuhan dengan pornografi?

Soal internet dan handphone. Orang tua harus mengikuti perkembangan jaman juga… Untuk yang anaknya sudah agak besar dan mulai kenal internet dan pegang handphone, kita juga harus menguasai cara berinternet dan mengerti fitur2 yang ada pada handphone anak kita. Kalau anak punya akun di social media (facebook, twitter, path, dll), bertemanlah dengan anak kita di situ, kenali teman-temannya. Sesekali cek riwayat koneksi internetnya, diskusi dengan mereka, dan ajak anak untuk menggunakan internet dengan bijak. Orang kan akan mudah menerima masukan ketika sedang senang, dan dalam suasana santai. Maka jangan melarang mereka ini itu dengan cara mengomel. Bisa saja di depan kita mereka menurut, tapi malah melakukannya dengan sembunyi2.

Soal bacaan dan komik. Jangan beli komik sembarangan, dan langsung mengiyakan begitu anak menyodorkan gambar covernya. Lihat dulu isinya. Ajarkan pula anak membaca berbagai jenis bacaan seperti: science, petualangan, fiksi yang islami dan atau mendidik, kisah rasul dan sahabatnya, dll. Sebagai orang tua, tetaplah ingat, bahwa anak meniru apa yang dilihatnya. Maka, jadilah contoh yang baik, dengan sering membaca bacaan bermutu (bukan tabloid gossip ya).

Soal games. Belajar kenal dengan games. Sesekali lihat dan perhatikanketika anak main games. Tanyakan games apa yang sedang dimainkannya. Periksa rating/peringkatnya.Banyak lho games bajakan dengan harga terjangkau dan ratingnya sudah diubah atau tidak sesuai dengan sebenarnya. Misalnya yang tadinya rating-nya AO (adult only) atau M (mature), diubah menjadi T (teen).

Tanyakan dari mana dia mendapatkannya. Diskusikan dampak bermain games, terlebih dalam jangka waktu yang lama dan sering. Jaman sekarang tidak heran ya, melihat anak balita jari jemarinya sudah piawai memainkan berbagai jenis gadget, selama berjam-jam. Padahal yang disarankan, untuk anak usia 4 tahun saja memainkannya tidak boleh lebih dari 10 menit.

Berikut adalah dampak negative games bagi kesehatan (jika terlalu sering memainkannya):

  1. Menyebabkan kejang lengan (repectitive strain injury)
  2. Mengikis lutein pada retina mata (menyebabkan pandangan menjadi kabur di usia dini)
  3. Mencetus ayan/epilepsi

Soal film/TV. Atur jam TV boleh menyala. Pilih program edukatif yang cocok untuk anak. Tidak semua film kartun cocok/baik untuk anak lho. Sinchan mencontohkan kelakuan anak yang nakal dan genit. The Simpsons menampilkan kekerasan. Barbie menampilkan kecantikan dan kemewahan yang berlebihan. Dan lain2nya. Tayangan Disney Junior rasanya lebih baik. Tapi tetap ya, pantau, tidak boleh ditonton terus2an. Untuk anak balita maksimum 2 jam per hari! Sesekali bahas tayangan2 tersebut dengan anak, apa yang mereka sukai, apa yang tidak. Mengapa mereka suka dan atau tidak. Jika anak punya pemahaman yang salah, beri pengertian yang benar.

Soal fim bioskop. Ini untuk anak yang sudah remaja, yang mulai ingin nonton ke bioskop bersama teman2. Tanyakan, apa perlu ke bioskop? Dengan siapa? Nonton apa? Hati2 dengan iklan sebelum di tengah dan akhir fim. Diskusikan dampak melihat adegan syur dalam keadaan gelap dengan teman. Tawarkan alternatif untuk membeli DVD nya dan menontonnya beramai2 di rumah.

Soal hubungan sosial. Sejak anak balita, kenalkan bedanya mahram, teman, sahabat, orang asing. Apa yang boleh dilakukan dan tidak dengan mereka. Ajarkan mereka untuk menjaga tubuhnya sendiri, dengan mengenalkan sentuhan yang baik, tidak baik, dan membingungkan. Batasan bagian badan mana yang boleh dipegang orang2 lain itu. Kalau anak sudah lebih dewasa, ajarkan bagaimana seharusnya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, hukum pacaran dalam Islam, dsb.

Bagaimana menjelaskan kepada anak soal bagaimana orang bisa kecanduan pornografi dan bahayanya?

Ini untuk anak yang sudah agak besar dan bisa diajak komunikasi soal bahaya pornografi. Apa yang terjadi kalau sudah kecanduan, kenapa kecanduan bisa terjadi dan kenapa kita harus menjauhinya. Terangkan dengan analogi yang mudah dimengerti anak. Ibu Elly mencontohkan dengan es krim. Misalnya seperti ini.

Kalau hari ini kita dibelikan satu buah es krim Walls, bagi yang biasa makan es puter, es krim Walls pasti terasa lebih enak doong. Setelah habis satu, pasti ingin nambah lagi. Dibelikan lagi deh es krim Walls. Habis dua buah. Puas. Kenyang. Besok2nya, kalau punya uang, ingin beli Walls lagi gak? … Iyalah. Teruus, begitu hingga selama berhari2 berminggu2 makan Walls, kira2 mulai bosan gak? … Iya ya, sedikit.

Tiba2 ada yang nawarin, es krim Baskin & Robbins. Kira2 terasa lebih enak gak dibanding Walls?… Tentunya… Coba satu. Enak. Ingin nambah lagi dong. Habis dua buah. Puas. Kenyang. Besok2nya, kalau punya uang, kira2 inginnya beli Walls atau Baskin & Robbins? Kalau bisa ya Baskin & Robbins lah ya…Begitu terus, hingga selama berhari2 berminggu2 makan Baskin & Robbins, kira2 mulai bosan gak? Hmm, iya, agak. Kalau makan Walls lagi, kira2 bagaimana rasanya? … Biasa saja kali ya… Eh, tiba2 ada yang nawarin, es krim Haagen Dazs. Bagaimana rasanya…?? Luar biasa. Begitu seterusnya. Kalau sudah biasa makan Haagen Dazs, terus makan Walls, kira2 yang terasa apa? Tidak ada enak2nya sama sekali. Bagaimana dengan es puter? Yakkss, ini mah es krim jadi2an.

Kalau sudah biasa makan es krim Haagen Dazs setiap hari selama bertahun2, lalu mendadak bangkrut, tidak punya uang untuk beli dan sementara kebutuhan akan es krim meningkat, kira2 apa yang dilakukan? Bisa jadi mencuri uang untuk bisa beli es krim. Atau mencuri es krim nya langsung!

Begitu juga proses kecanduan pornografi. Bisa jadi, bagi remaja lelaki, tadinya deg2an setiap melihat perempuan berpakaian s*ksi. Lama2 karena seriiing …, jadinya biasa saja lihat yang begitu, bahkan yang tanpa sehelai benang pun rasanya biasa. Selanjutnya kira2 remaja lelaki tadi butuh tantangan baru gak yang bisa buat deg2an lagi? Mungkin gak mencoba yang aneh2, semacam waria, lalu sesama lelaki, atau bahkan binatang? Bukan tidak mungkin bukan? Selama punya uang, bisa bayar. Suatu saat kalau pas tidak punya uang tapi kebutuhan memuncak, kira2 apa yang dilakukan? Bisa jadi memperk*sa orang yang ada di sekitarnya. Tidak peduli siapa dia. Bisa jadi kerabat dekatnya, atau tetangga, atau muridnya.

Tidak takut? Tidak malu kalau sampai ketahuan? Tidak mikir panjang apa akibatnya bagi si pelaku dan korbannya? Kok tega2nya…

Kan orang yang kecanduan pornografi otaknya rusak… tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Mana bisa berpikir normal??

Bagaimana jika sudah terlanjur terpapar dan kecanduan pornografi?

Pertama, I know that thas is not easy (honestly, that is disaster!), but… try as much as you can,

to be…

calm…

tenang…

tenang…

tenang…

jangan panik, jangan marah.

Terima musibah ini… (kalau kata Aa Gym, mau tidak terima juga sudah terjadi, sudah ada tanda terimanya—yaitu otak anak yang rusak).

Selanjutnya, maafkan anak, lalu… minta ampun sama Allah SWT. Segala sesuatu terjadi atas kehendakNya. Sadari bahwa yang terjadi adalah hasil dari apa yang kita lakukan. Bahwa kita akan memanen yang kita tanam. Introspeksi diri. Mungkin ini semua terjadi karena kesalahan kita sebagai orang tua. Mungkin kita yang kurang perhatian sama anak. Mungkin kita yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mencari harta. Mungkin kita yang salah telah melimpahkan pengasuhan anak pada orang lain. Mungkin kita yang tanpa sadar memberi makan anak dengan uang yang tidak halal. Mungkin kita yang terlalu egois tidak mau kehilangan ‘me time’ (bolak balik ibu Elly mengeraskan suara setiap menyebut soal me time ini)

(Hayo ngakuu.. siapa yang tidak pernah mengalami–saking begitu asyiknya chat lewat BBM dan Whatsapp sama teman2, atau facebooking, atau ngeblog atau baca buku, atau nonton film… sampai2 anaknya dibiarkan main sendirian, bahkan anak2 manggil2 malah kita cuekin..??

… gak ada yang tunjuk jari kan..? gak ada kan??).

Maka, perbanyak mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, bagi yang beragama Islam, perbanyak sholat, baca al Qur’an, sedekah, dan bersabar. Ingat, jadikan sabar dan sholat sebagai penolongmu. Jangan lupa bersyukur. Memang tidak mudah, tapi dengan melihat para orang tua yang kasus anaknya lebih parah akan membantu kita untuk bersyukur.

Jangan berlarut2 sendiri dalam kesedihan, kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Ingat, ada anak yang membutuhkan dukungan dan bantuan untuk melepaskan diri dari kecanduan pornografi. Ajak anak bicara baik2 hingga mau terbuka untuk bicara. Bisa jadi sulit, kaku dan canggung untuk yang dari awalnya hubungan dengan anaknya memang tidak dekat. Tidak terbiasa mengobrol,  tidak terbiasa merangkul, tidak terbiasa memeluk. Datang ke ahli adalah salah satu pilihan, untuk membuka masalah (memancing agar anak mau bicara masalahnya) dan mencari solusinya. Jika kecanduan sudah cukup parah, memerlukan terapi dari ahli/terapist/psikolog untuk penanganannya.

Pe-eR berikutnya, musyawarah dengan pasangan, tindakan apa yang harus dilakukan sebagai orang tua ke depannya. Misalnya dengan memperbaiki pola pengasuhan dan komunikasi.

Bagaimana agar pasangan (suami) mau peduli dengan apa yang kita (ibu2) katakan mengenai masalah anak?

Ibu Elly sampai memberi trik bicara yang baik dengan para suami yang biasanya cuek dengan urusan pengasuhan anak. Sepertinya sudah tercetak dari sononya bahwa urusan ayah itu mencari uang, urusan ibu mengasuh anak. Padahal peran kedua orang tua sangatlah penting.

Anak laki2 yang kurang kasih sayang/perhatian/peran ayahnya cenderung menjadi nakal, terlibat narkoba dan sex bebas. Sementara, anak perempuan cenderung depresi, dan jika salah pergaulan dapat pula terjerumus dalam  kehidupan sex bebas. Maka ajak ayahnya anak2 untuk ikut terlibat dalam pengasuhan anak.

Oh ya, trik bicara dengan pasangan yaitu:

  1. Pilih waktu yang tepat (kata ibu Elly waktu yang pas itu setelah kebutuhan suami yang satu itu terpenuhi), dalam suasana santai, perut sudah terisi dan ketika badan dan mata masih segar.
  2. Sampaikan isyu kritis alias point-nya langsung, jangan bertele2.
  3. Rumuskan dalam 1 kalimat, yang terdiri tidak lebih dari 15 kata. Misalnya kita bisa pancing bilang, ‘ayah, jangan2 anak kita bisa rusak lho otaknya’. Pasti kan suaminya kaget tuh, dan balik tanya, ‘hah? Maksudnya rusak otaknya bagaimana?’. Kita kasih jawaban2 pendek dulu. Kan makin bingung tuh, terus bertanya lagi dan bertanya lagi. Setelah itu ya langsung aja ajak bicara panjang lebar. Tapi ingat ya jangan bertele2, soalnya lelaki kan cenderung straight to the point. Bisa bosan dan bingung mereka kalau kita muter2 bicaranya.

Apa yang harus diperhatikan sebelum memulai berdiskusi dengan pasangan untuk memperbaharui pola pengasuhan?

Life is a journey, kalau kata orang bilang. Dan setiap perjalanan harus mempunyai tujuan. Membesarkan anak merupakan bagian dari perjalanan itu. Sebagai orang tua kita harus punya tujuan dalam membesarkan anak. Bukan hanya menjadikannya sebagai anak pintar, sukses dalam bidang akademis dan karir saja, tapi ada tujuan yang lebih penting dan mulia dari itu, yang Allah inginkan dari kita.

Maka dari itu, berikut ini adalah visi dan prinsip penting yang harus diingat, persiapkan anak menjadi:

  • hamba Allah SWT yang taat,
  • calon istri/suami yang baik,
  • calon ayah/ibu yang baik
  • seorang professional dalam pekerjaan/karirnya,
  • pendidik (untuk mendidik anak2nya – dan mendidik istrinya, bagi para suami)
  • penanggung jawab keluarga (bagi laki2 dalam mencari nafkah dan memimpin keluarganya; bagi perempuan dalam mengatur rumah tangga dan mengurus suami dan anak2nya)
  • pengayom orang tua di masa tuanya (terutama untuk anak laki2, ingat, bahwa seorang anak laki2 bertanggung jawab terhadap ibunya… yang sering terjadi, begitu menikah anak laki2 biasanya pergi dari rumah dan cenderung lebih dekat istri beserta keluarganya… malah yang merawat orang tua di masa tuanya kebanyakan adalah anak perempuannya… padahal anak perempuan yang telah menikah mestinya lebih mengutamakan suaminya daripada orang tuanya)
  • pendakwah (sebagai muslim, berdakwah merupakan kewajiban… berdakwah tidak harus ceramah di pengajian…, dengan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari2, bukan hanya urusan ibadah saja, tapi hingga cara kita berpakaian, bergaul, bertetangga, menjaga diri dari perbuatan sia2 seperti bergunjing, dsb, kita sudah menjadi agen muslim yang baik… yang juga merupakan bagian dari dakwah)

Jadi, pola pengasuhan seperti apa yang sebaiknya kita terapkan?

Setelah pasangan sepakat dengan visi baru dalam mengasuh anak, akan kita bentuk menjadi seperti apa anak2 kita nantinya,baru deh diskusi bersama pasangan, untuk memperbaharui pola pengasuhan yang akan terus menerus mengalami perkembangan jaman. Terapkan langkah2 pola pengasuhan untuk dapat mencapai visi tersebut. Bekali diri dengan ilmu parenting dan agama sebagai modal dasar sebagai orang tua.

Sejak masa golden age-nya, bangun kedekatan dengan anak. Kalau sedang di rumah, luangkan waktu  dan perhatian yang cukup untuk anak. Yang tidak pakai disambi2 melakukan pekerjaan lainnya, termasuk pekerjaan rumah tangga.

Yeee… gimana dong, ntar siapa yang masak? Siapa yangbersih2 rumah?

Kalau ibu Elly bilang, kalau perlu dan mampu, katering saja dah… Jadi waktu yang biasa ibu2 habiskan di dapur bisa dialokasikan untuk anak. Atau, kalau bisa, mampu, dan ada orang yang bisa dipekerjakan, pekerjakanlah pembantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Agar para ibu tidak terlalu lelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehingga masih punya cukup waktu yang berkualitas, energy dan mood yang baik untuk berinteraksi dengan anak. Karena hubungan itu dibangun bertahun2. Tidak bisa berubah dalam sekejap. Anak yang tidak terbiasa mengobrol santai dengan orang tuanya sejak kecil, pasti akan sulit untuk nyaman memulai bercerita berbagai hal seperti dia bercerita dengan teman akrabnya.

Perbaiki pola komunikasi. Menjadi akrab dengan anak bukan berarti kita akan kehilangan wibawa kita sebagai orang tua. Tetap tempatkan diri sebagai orang tua yang perhatian, penuh kasih sayang, namun tegas dengan menerapkan disiplin (tegas bukan berarti galak ya). Dengan dibiasakan untuk disiplin, akan memudahkan kita sebagai orang tua untuk mengatur dan mengendalikan anak serta mengajarinya untuk bersikap dan bertingkah laku yang baik. Dalam jangka panjang, anak yang terbiasa disiplin akan memiliki kemampuan self-control yang baik, sehingga nantinya tidak mudah untuk terpengaruh dan ikut2an teman jika hal itu tidak sesuai dengan nilai2 kebaikan yang sudah ditanamkan pada dirinya. Disiplin ini dapat kita mulai dengan membuat peraturan di rumah yang wajib dipatuhi bersama, misal: soal bangun pagi, jam menonton TV, dsb.

Ajarkan pula anak untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Beri anak tanggung jawab mengenai urusan rumah sesuai usianya. Bisa dimulai dengan hal kecil semacam membereskan mainannya setelah selesai bermain, menyalakan lampu pagar dan menutup gorden pada jendela2 menjelang maghrib tiba, dll. Latih anak2 sejak kecil untuk melakukan sendiri hal2 yang berhubungan dengan dirinya, seperti menyiapkan isi tas untuk sekolah, menyiapkan pakaian yang akan dikenakan seusai mandi, menaruh piring kotor setelah makan (dan mencucinya jika sudah bisa), dll.

Kembangkan pula pada diri anak kemampuan berpikir kritis. Jangan biasakan mengajukan yes or no questions. Tidak salah kalau anak hanya menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Titik. Biasakan memulai pertanyaan dengan kata ‘bagaimana’. Pancing lagi dengan pertanyaan2 yang membantu anak untuk banyak bercerita dan berpikir.

Selanjutnya, para orang tua, janganlah fokus pada aspek akademis semata. Janganlah yang ditanyakan kepada anak hanya berkisar seputar soal ‘besok ada ulangan tidak?’, ‘tadi ulangan dapat nilai berapa?’, tadi siang datang les atau tidak?’, ‘sudah mengerjakan pe-er atau belum untuk besok?’. Sensitiflah dengan bahasa tubuh anak. Kalau sore2 anak pulang dari sekolah wajahnya kusut, berikan perhatian. Katakan, wajahnya terlihat lelah dan tidak bersemangat. Tanyakan, apakah si anak sedang sedih atau kecewa atau lelah? Lanjut dengan obrolan ‘kenapa?’. Apakah karena terlalu padat kegiatannya, apakah sedang banyak tugas, apakah sedang butuh refreshing. Dengarkan keluh kesahnya. Jangan meremehkan bebannya. Bantu dan dukung anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Boleh juga sesekali hibur dan berikan perhatian dengan, misalnya, memasakkan makanan kesukaannya, dsb.

Ajari anak mengenai konsep harga diri yang baik. Katakan pada anak (terutama perempuan) bahwa diri dan tubuhnya sangat berharga dan tidak boleh disentuh sembarangan. Jelaskan dengan analogi barang dagangan yang murah dan mahal. Barang murah akan ditaruh di kotak bertuliskan ‘obralan’, dan banyak disentuh orang2, tapi belum tentu dibeli. Barang mahal akan ditaruh di etalase dan dikunci. Hanya orang2 yang berniat sungguh2 untuk membeli yang akan meminta penjual toko untuk mengeluarkannya dari etalase.

Ajari anak jenis2 sentuhan: yang boleh (e.g. belaian pada kepala dan pelukan dari orang tuanya, dokter yang memeriksanya), sentuhan yang jahat (e.g. seseorang yang menyentuh area tubuh anak yang tertutup pakaian renang biasa), dan sentuhan yang membingungkan (e.g sentuhan pada area bahu ke bawah dan lutut ke atas). Kenalkan pula pada anak konsep mahram, bedanya orang asing, teman, sahabat, dan saudara.

Last, but not least, sebagai orang tua di era digital, jangan malas untuk belajar aktif menggunakan teknologi. Baca pada bagian bagaimana melindungi anak dari bahaya pornografi pada jawaban dari pertanyaan pertama di atas.

Jadilah orang tua yang kreatif. Pikirkan juga soal kegiatan alternatif pengganti video games, TV, baca komik, bermain internet, bergadget ria…

Terutama, ibu sebagai menteri pendidikan dalam rumah tangga, harus aktif belajar dan mengembangkan diri serta punya banyak ide. Termasuk mengadakan aktivitas yang seru untuk anak2nya sendiri.

Yang anak2nya perempuan bisa diajak untuk membuat kue yang bentuknya lucu2 biar tertarik, dan rasanya disukai anak2. Atau membuat berbagai prakarya seperti: buku cerita bergambar, puppet show dari boneka kertas, pembatas buku, meyusun foto dalam bentuk kolase untuk dipajang, membuat pop-up card, menggambar untuk dipajang di kamar anak2, membuat kreasi dari barang bekas macam kartu undangan dan baju bekas, menjahit sederhana, dll.

Untuk anak laki2, bisa diajak untuk membuat mobil2an dari kaleng atau kotak susu bekas, membuat perabot dari kayu atau kardus atau kaleng bekas, membuat bendera, membuat track rally mobil2annya dari kertas karton dan bahan2 prakarya lainnya, membuat bangunan dari stik es krim bekas, menggambar, dll. Biasakan pula anak laki2 untuk aktif berolah raga dan beraktivitas di luar rumah (jangan hanya disuruh les inggris, komputer dan musik saja). Diketahui bahwa laki2 (yang sudah baligh) mempunyai siklus pada alat reproduksinya untuk berproduksi setiap tiga hari sekali. Dengan berolahraga, dapat meredakan dan mengendalikan dorongan seksualnya serta mengalihkan pikiran negatifnya.

Ide lain, sesekali ajak pula keluarga berpiknik di hamparan rumput, camping(baik camping2andi halaman belakang rumah maupun camping beneran di bumi perkemahan), berkunjung ke berbagai tempat wisata indoor dan outdoor, untuk kemudian dibikin tulisan yang disertai gambar2 hasil jepretannya sendiri, masukkan ke blog (jika anak sudah padai membaca dan menulis).

Untuk para ibu2 bekerja, wanita karir, ibu2 pejabat, bussines women, wanita2 akademisi yang kecanduan sekolah (terutama di luar negeri dan meninggalkan anak2nya yang masih kecil2 di tanah air)… perempuan2 hebat yang sibuknya luar biasa…

Mari kita sadari bahwa, bagaimanapun hebatnya kita, jika Allah sudah menitipkan anak kepada kita.Kita adalah baby sitter-nya Allah SWT, yang jika bekerja dengan baik, amanah dengan titipanNya, akan digaji dengan surga. Maka, janganlah tugas kita sebagai orang tua (terutama ibu) untuk mengasuh, menjaga, medidik dan merawat mereka di sub-kontrakkan lagi kepada orang lain.

Meskipun itu ibu kita sendiri…! *tegas bener ibu Elly ngomongnya*

Tubuh nenek2 tidak dirancang untuk mengasuh cucu. Karena (umumnya) sudah menopause, tentunya sudah lebih gampang capek, gampang emosi, (mungkin) osteoporosis, asam urat, dan penyakit2 orang menua lainnya. Sudah cukuplah tugas mereka dahulu mengasuh kita.

Maka buat yang sering menitipkan anaknya kepada neneknya (termasuk saya! :D) jangan protes kalau anaknya jadi manja, kebanyakan nonton tayangan tidak bermutu di TV dan main games, susah beralih dari minum susu pakai botol ke gelas, jadi galak karena sering diomeli, susah diatur karena bingung antara aturan berbeda yang diterapkan neneknya dan orang tuanya sehingga  selalu berpihak kepada yang menguntungkan bagi dirinya.

Apalagi pengasuhan anak (terutama, balita) diserahkan kepada pembantu… juga bukan pilihan bijak.

Bagaimana mungkin para ibu yang lulusan sarjana (dan mungkin cum laude), S1, S2 (bahkan S3), rela berjuang dan berlelah2 kuliah, kemudian bekerja di kantor, tapi justru menyerahkan pendidikan untuk anak2nya (yang merupakan tanggung jawab utamanya) kepada mereka para ART/pengasuh yang tingkat pendidikannya relative rendah, mungkin SMP atau bahkan SD?

Pernahkah ibu2 menghitung, dalam sehari, berapa jam ibu2 bekerja ada di kantor? Dan berapa jam ada di rumah? Berapa jam waktu istimewa untuk anak2?

(Belum lagi kalau yang pekerjaannya mengharuskan sering dinas ke luar kota berhari2).

Berdasar pengalaman, biasanya sekitar 2-3 jam kita bertemu anak di pagi hari. Itu pun diselang-selingi aktivitas mandi, sarapan, sambil melakukan pekerjaan rumah tangga, juga persiapan berangkat kerja.Dengan suasana terburu2, sambil mengomel2, menyuruh anak2 untuk cepat2 makan, siap2 berangkat sekolah, dsb…

Kemudian kita menghabiskan waktu 8-10 jam (or even more!) bekerja di luar rumah dan perjalanan menuju dan dari tempat kerja (di mana anak2 balita kita banyak menghabiskan waktunya bersama pengasuh). Baru bertemu lagi di sore hari menjelang maghrib, di mana kondisi kita sudah lelah, yang mengakibatkan gampang ngomel2 kalau melihat sesuatu yang tidak beres atau anak masih pecicilan dan susah diatur… kalau pun kita sempat bercengkrama dengan mereka biasanya juga disambi melakukan pekerjaan rumah tangga, atau nonton TV, membaca buku favorit, pegang gadget, dll, dengan alasan ‘me time’… dan 2-3 jam kemudian anak2 sudah tertidur.

Jangan protes kalau anak balita kita jadi hapal banyak lagu orang dewasa, mengerti berbagai jenis sinetron dan gossip infotainment, jadi penakut (karena sering ditakut2i sama hantu oleh si pengasuh, kalau tidak menurut), jadi suka menyalahkan orang lain (karena kalau jatuh pengasuhnya memukul lantainya sebagai tanda yang salah itu lantainya), ataungomongtidaksopan, karena ketularan kebiasaan yang mengasuh, jadi kecanduan games dan TV (karena ketularan si pengasuh).

Jangan salahkan si mbak pengasuh/ART itu ya bu kalau mengajari anak2 ibu hal2 yang tidak benar dan tidak baik. Harap maklum… kan mereka bukan orang pandai seperti ibu yang lulusan sarjana dari universitas ternama… kan mereka bukan lulusan terbaik ketika sekolah…  kan mereka ‘hanya’ lulusan SD atau SMP… dan mungkin mereka juga masih bocah belasan tahun yang masih asyik dengan dunia remajanya… mungkin juga belum pernah punya anak.  Jadi jangan berharap mereka bisa cerdas mengasuh anak kita. Jangan harap mereka curious dan paham berbagai teori ilmu parenting seperti kita (apalagi dengan penuh kesabaran menerapkannya kepada anak kita). Sekali lagi ingat ya… kan mereka ‘hanya’ lulusan SD atau SMP.

Bagaimana kalau kita cari pengasuh yang pandai??

Masalahnya sekarang bukan lagi urusan bisa bayar atau tidak… Masalahnya, lha wong cari yang kurang pandai saja susah…

Terus, kira2 kalau pengasuh itu lulusan sarjana (yang berarti pandai), apa iya mereka mau bekerja sebagai pengasuh anak orang lain? Lha kita saja (yang ngakunya lulusan sarjana ini, kebanyakan) lebih memilih untuk bekerja kantoran toh daripada mengurus anak sendiri?

Mari yuk salahkan diri kita sendiri yang sudah lalai sebagai ibu… :(((((

Layakkah bekerja untuk mendapatkan materi, status dan kepuasan pribadi dengan mengorbankan anak?

*thinking*

Kasihan ya anak2 kita…

Eh, kalau dipikir2, sebenarnya yang lebih kasihan dan merugi itu kita sendiri sebagai orang tua… tidak memanfaatkan kesempatan mengasuh dan mendidik anak2 kita sendiri, titipan dari Allah SWT yang merupakan investasi dunia akhirat. Yang (kalau sukses) bayarannya surga.

Dari sisi agama, sesungguhnya setiap dari kita akan dimintai pertanggungjawabannya atas segala yang Allah titipkan kepada kita. Entah itu waktu, tenaga, ilmu, harta, termasuk anak.Dan tanggung jawab utama seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah suami dan anak2nya. Bukan perkara mencari nafkah (apalagi kalau kebutuhan pokok kita sudah tercukupi dari penghasilan suami).

Siapkah kita jika nanti di akhirat ditanya ‘mengapa anakmu tidak mengenal Tuhan-nya?’, ‘mengapa anakmu tidak bisa mengaji?’, ‘mengapa anakmu tidak sholat 5 waktu?’, ‘mengapa anakmu punya akhlak,  moral dan iman yang buruk, sehingga banyak berbuat dosa, banyak menghabiskan waktu untuk hal2 yang sia2?’… akankah kita menjawab dengan ‘karena saya ibunya, sibuk bekerja, mencari harta sebanyak2nya, agar anak kami bisa hidup enak,… atau… karena saya ibunya sibuk berkarir, mencari jabatan agar keluarga kami jadi keluarga terpandang, punya status terhormat di masyarakat…?

Eh, ini bukan berarti perempuan tidak boleh bekerja ya.

Tentu saja boleh asal alasannya tepat. Misalnya, memang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin mencekik, sementara penghasilan suami tidak mencukupi. Tapi yang ada, kebanyakan wanita bekerja sekarang adalah untuk berkarir, eksistensi diri, bosan di rumah, atau memperbanyak harta supaya hidup lebih nyaman, makan lebih enak, mobil lebih bagus, beli gadget tercanggih, bisa beli baju dan kerudung model terbaru, dan kebutuhan tertier lainnya.

Bukan pula berarti perempuan tidak boleh sekolah tinggi ke luar negeri.

Sekolah tinggi tetap perlu, karena sesungguhnya banyak pelajaran lain yang kita dapatkan dengan pernah menjalani status sebagai mahasiswi dan lulus. Bukan sekedar belajar ilmu science, engineering and so on… tapi juga melatih mental, keingintahuan, kemauan untuk mengembangkan diri, keterbukaan untuk menerima ilmu baru, kemampuan beradaptasi, daya juang, kefokusan, dan kedisiplinan.

Hal2 itu kan diperlukan untuk persiapan menjadi istri dan ibu yang baik. Karena semakin tinggi sekolahnya biasanya semakin melek teknologi. Orang yang suka sekolah (kecuali yang niatnya cari gelar yeee) juga biasanya senang belajar, senang memperbaharui diri menjadi lebih baik, ingin selalu tahu perkembangan terbaru, termasuk soal ilmu mendidik anak . Penting sekali bukan sebagai bekal dalam mendidik anak di era digital ini?

Walaupun, memang harusnya profesi termulia kita itu sebagai ibu.. mau lulusan S1, S2, atau S3 Harvard, Yale, ataupun Oxford sekalipun… Sebagai ibu, sekolah tinggi dan tidak bekerja bukan berarti lalu ilmu kita tidak terpakai… tetaplah, sekolah tinggi membentuk dan atau mengubah cara berpikir seseorang (in a good way). Tentunya bedalah pola pikir seorang lulusan SMP dan lulusan SMA. Beda pula cara berpikir, motivasi, dan cita2 seorang lulusan sekolah di pedalaman dan seorang lulusan sekolah di kota metropolitan.

Maka dari itu, boleh banget perempuan sekolah tinggi ke luar negeri. Btw, ibu Elly juga kan bisa jadi seperti sekarang ini, bisa cerita macam2 tentang ilmu soal parenting ini, tentunya tidak lepas dari kontribusi ilmu yang dia dapatkan ketika kuliah psikologi, training2 tentang parenting dan pengalamannya mengajar TK dan interaksinya dengan berbagai orang selama tinggal di US.

Hanya saja, idealnya… (catat ya, idealnya) … kalau bisa ya sekolah tinggi di luar negeri dilakukan sebelum menikah gitu, ketika belum punya tanggung jawab sebagai ibu (jangan seperti saya :(( ). Atau, boyong saja anak dan bapaknya sekalian. Atau lakukan ketika sedang ikut suami yang sekolah/kerja di luar. Walaupun kesibukan kuliah di luar negeri menyita waktu, mungkin itu jauh lebih baik daripada berpisah sementara dengan anak dan bapaknya di tanah air bertahun2. Alternatif lain, ya menikah muda, segera punya anak, naah… kuliah ke luar negerinya ketika anak sudah agak besar, jadi kitanya tidak terlalu repot dan si anak tidak memerlukan perhatian sebanyak ketika dia masih balita.

Walaupun, kalau menurut ibu Elly, untuk yang punya anak balita, idealnya salah satu dari orang tuanya ada di rumah untuk concern mengasuh anak. Kalau bapaknya yang punya karir bagus dan penghasilan lebih besar, ya ibunya di rumah saja. Begitu pula sebaliknya. Kalaupun terdesak kebutuhan ekonomi, win-win solution-nya barangkali bekerja atau menjalankan bisnis dari rumah ya, yang bisa disambi2 sambil mengasuh anak. Orang tua itu tim, harus bisa bagi2 peran. Kalau anak2 sudah agak besar, sudah bisa mandiri dan banyak kegiatan, bolehlah kedua orang tua kembali berkarir.

………………………………………………………..

Finally…

Tidak terasa 3.5 jam lebih telah berlalu. Tertohok rasanya mendengarkan wejangan2 dari ibu Elly. Jadi merasa sangaaatt bersalah. Rasanya mendadak kangen anak dan ingin memeluknya, minta maaf atas kelalaian kita dalam mengasuhnya.

Kalau kita pulang kantor dan mendapati anak kita terluka akibat keteledoran si baby sitter, kira2 apa reaksi kita? Marah? Kesal? Kecewa? Kalau lukanya terlalu parah,bisa jadi si baby sitter langsung kita pecat.

Bayangkanlah reaksi Allah SWT jika mengetahui kelalaian kita dalam mendidik anak, sehingga si anak jauh dari Allah SWT, mempunyai akhlak yang buruk, menderita kerusakan otak, dll yang jelek2.

Ketika anak lahir, Allah SWT menitipkannya kepada kita dalam keadaan suci, murni, bersih, seperti kertas putih. Akankah kita mewarnai kertas itu dengan gambar yang bagus dan penuh warna warni indah? Ataukah kita mencoret2nya dengan lukisan benang kusut berwarna hitam suram yang catnya belepotan?

Petuah ibu Elly bahwa kita ini baby sitter-nya Allah SWT terus terngiang2 di kepala.

So, untuk seluruh orang tua yang peduli dengan keimanan, pendidikan dan pembentukan akhlak anak2nya…

Selamat berjuang!

Veel success!!

Ganbatte!!!

16 thoughts on “Seminar Parenting ‘Mendidik Anak di Era Digital’ oleh ibu Elly Risman (3)

  1. terimakasih mba sharingnya,, bila mba tahu ada info seminar ibu Elly Risman mohon dishare ya mba,, (membaca tulisan mba saja saya merinding, dan menahan air mata, apalagi bila mendengar langsung)

  2. Makasih sharingnya mbak….gak terasa air mata langsung tumpah…inget anak2…inget kelalaian saya dan suami sebagai orang tua…..

  3. Makasih utk tulisannya..:)
    Semoga tulisan ini menjadi langka penting kita semua untuk menjadi orang tua yg terbaik untuk anak2 kita. Amiiinnn

  4. Terima kasih banyak atas tulisan yang sangat bermanfaat ini. Bagus, saya suka dengan isinya, mudah dimengerti. Buat orang tua, karena tidak ada sekolah buat orang tua, ini merupakan materi penting.

  5. Menakjubkan…membuatku harus memilih karir..menjadi pegawai n staf biasa saja…atau mundur n resign…demi anak2…

Leave a comment